Untukmu, yang Tak Pernah Tahu
Untukmu, yang Tak Pernah Tahu
Setelah pertemuan itu, semuanya berubah.
Angin yang sebelumnya berhembus kencang mulai mereda. Senja yang biasanya menjadi lukisan indah di langit, perlahan menghilang. Seolah alam ingin berbisik, bahwa aku—barangkali—tak pantas.
Ada ruang sunyi di antara kita. Sebuah jarak yang tak bisa dijembatani oleh kata-kata. Setiap huruf yang sempat aku tata untukmu, gugur sebelum sempat menjadi suara.
Aku tak tahu mengapa aku mencintaimu dengan begitu hebatnya. Cinta ini hadir dalam frekuensi yang tak terucap. Bukan karena takut. Bukan pula karena tak ingin. Tapi karena aku tahu, cinta yang lahir dari keheningan seringkali lebih kuat dari sekadar pengakuan. Ia bertahan bahkan ketika harapan enggan berpihak.
Aku memilih diam, bukan karena tak peduli. Tapi karena aku ingin menjadi bayang-bayang—selalu ada, namun tak pernah mengganggu cahayamu.
Kau mungkin tak pernah tahu, bahwa namamu selalu kusebut dalam doaku. Kepada Pemilikmu dan Pemilikku, aku sampaikan permohonan—dalam hening, dalam cinta yang tak meminta balasan.
Aku tidak pernah benar-benar jauh. Hanya saja, aku belajar untuk tidak terlalu berharap. Aku adalah puisi yang tak pernah dibaca—ditulis dengan tangan gemetar oleh hati yang tak ingin menyakiti, bahkan dirinya sendiri.
Cintaku tak meminta apa-apa. Ia hanya ingin hadir. Diam-diam, melalui tulisan. Dengan pena sebagai teman, kutulis kata demi kata yang tak mampu terucap oleh lisan.
Dan jika suatu saat nanti hidup mempertemukan kita kembali—bukan sebagai aku dan kamu, melainkan sebagai dua titik yang pernah saling mendekat lalu menjauh—kuharap semesta tahu:
Bahwa aku pernah mencintaimu.
Dalam diam, yang begitu dalam, hingga dunia pun tak bisa menyentuhnya.
AW – 20 Desember 2024
.png)
Posting Komentar untuk "Untukmu, yang Tak Pernah Tahu"