Kelulusan: Bukan Puncak, Tapi Perang yang Baru Dimulai
Apakah Kita Lulus untuk Menang… atau untuk Bingung?
Sudah ribuan kali kita mendengar kalimat itu:
“Selamat, Anda telah lulus.”
Tapi tak pernah ada satu pun yang bilang:
“Selamat datang di dunia yang tidak peduli kamu lulusan cumlaude atau nyaris DO.”
Di ruang-ruang aula kampus, kita diarak sebagai para sarjana harapan bangsa. Tapi begitu kaki keluar dari gedung itu, dunia menyambut dengan wajah datar dan pintu yang tertutup. Lulusan baru kerap disanjung dengan bahasa tinggi, namun dijatuhkan oleh realita yang rendah hati—dan kejam.
Kampus Mengajar, Dunia Menyeleksi
Kita belajar bertahun-tahun demi selembar ijazah, tapi dunia kerja ternyata lebih tertarik pada pengalaman, koneksi, dan—kadang—penampilan.
Nilai IPK-mu hanya jadi angka kecil di pojok kanan CV, yang dilirik HRD selama… enam detik.
Kampus mengajarkan kita teori ekonomi, filsafat moral, atau bimbingan penyuluhan. Tapi dunia nyata menguji kita dengan kenyataan:
-
Kamu pintar? Tapi bisa tahan lembur?
-
Kamu idealis? Tapi siap dibayar UMR?
-
Kamu lulusan unggulan? Tapi anak direktur yang diangkat.
Pendidikan tinggi dijual sebagai jalan menuju masa depan cerah. Tapi tak ada yang bilang bahwa jalan itu penuh lubang, pungli, dan papan arah yang menyesatkan.
Kita Lulus, Tapi Tak Disiapkan
Kita diajari bagaimana menghitung regresi linear, tapi tidak diajari bagaimana menghadapi kegagalan.
Kita dilatih membuat makalah ilmiah, tapi tidak dilatih menghadapi ketidakjelasan hidup.
Kita diminta memilih jurusan saat umur 17, tapi dihukum ketika ternyata salah arah.
Padahal, kenyataannya:
-
Banyak yang lulus dan tak tahu siapa dirinya.
-
Banyak yang diterima kerja, tapi kehilangan jati diri.
-
Banyak yang mengejar karier, tapi makin jauh dari mimpi.
Ironisnya, semua ini dianggap normal. “Wajar, namanya juga proses,” kata orang dewasa. Padahal mungkin, ada yang keliru sejak awal: bahwa sistem pendidikan kita hanya mendidik untuk lulus, bukan untuk hidup.
Lulus: Selebrasi yang Penuh Kepalsuan?
Wisuda adalah perayaan. Tapi perayaan apa?
Apakah kita merayakan keberhasilan menghafal diktat dan menyusun skripsi? Atau kita sekadar merayakan keberhasilan bertahan dalam sistem yang tak pernah benar-benar mendidik untuk berpikir bebas?
Banyak yang lulus tanpa pernah tahu apa makna kuliahnya.
Banyak yang merasa bangga, padahal di dalamnya kosong.
Maka tak heran jika setelah lulus, banyak yang cemas, bingung, atau bahkan merasa gagal. Karena ternyata, kelulusan bukan akhir dari perjuangan, tapi awal dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah diajarkan jawabannya.
Jika Lulus Adalah Gerbang, Maka Bertanya Adalah Kuncinya
Kelulusan bukanlah puncak. Ia bukan hadiah. Ia bukan akhir. Ia hanya tanda bahwa kamu harus mulai menantang dunia—atau ditelan olehnya.
Maka jika kamu merasa hampa setelah lulus, mungkin itu tanda bahwa kamu masih hidup. Bahwa kamu masih mau berpikir, meragukan, mempertanyakan, dan melawan.
Karena hari ini, lebih penting untuk menjadi lulusan yang sadar daripada lulusan yang hanya bangga.
.png)
Posting Komentar untuk "Kelulusan: Bukan Puncak, Tapi Perang yang Baru Dimulai"